Restorasidaily.com, Jakarta: Pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang seolah melegalkan posisi pimpinan tertinggi militer boleh menjalankan politik dinilai keliru. Militer tidak mengenal istilah politik negara maupun politik praktis.
“Panglima TNI itu kewenangannya pembinaan kekuatan, penggunaan kekuatan. Artinya apa? Konteksnya adalah operasi. Dia membina supaya kalau ada pendadakan strategis tentara semuanya siap,” ujar pengamat militer Mufti Makarim seusai dialog publik Meninjau Kembali Reformasi Sektor Keamanan Indonesia, di Gedung The Habibie Center, Jakarta, Rabu 4 Oktober 2017.
Kemudian, sambung dia, apabila ada perintah politik dari negara maka Panglima TNI menjadi pihak yang berwenang mengatur penggunaan kekuatan militer, seperti melihat situasi di lapangan yang disesuaikan dengan jumlah prajurit dan armada tempur.
“Contoh lain, keputusan yang mengatakan Papua separatis atau tidak itu keputusan politik. Bahkan, menurunkan tentara di Papua juga keputusan politik dan bukan keputusan Panglima TNI. Makanya kalau Panglima TNI bilang boleh berpolitik negara, apa itu yang dimaksud? Enggak bisa.” ungkap dia.
Mufti memandang ada tiga kunci utama untuk mencegah agar militer tidak terseret dalam pusaran politik. Pertama, memastikan otoritas politik bisa menunjukan peran dan kekuasaannya dalam proses reformasi sektor keamanan.
“Karena pada satu sisi saat otoritas politik tidak confidence dengan posisi politiknya, dia mencoba mencari dukungan dan fatalnya adalah dia tidak membangun konsolidasi politik untuk dukungannya, tapi justru mencari dukungan dari sektor keamanan dan berbahaya. Hal seperti ini sudah jadi tren,” imbuhnya.
Kedua, faktor institusi yang terindikasi militer senang apabila diajak berbicara mengenai persoalan politik ketimbang membahas upaya pembangunan kekuatan, termasuk bagaimana membuat sistem pertahanan jangka panjang dan lain sebagainya.
Ketiga, secara umum publik juga tidak memiliki akses yang memadai terhadap proses atau dinamika isu-isu sektor keamanan. Walhasil, persepsi publik pun terbelah, seperti munculnya kelompok yang pro Panglima TNI dengan parameter tertentu.
“Buat saya kenaifan seperti itu tidak perlu. Kalau bicara negara demokrasi kita tidak lihat dia siapa, apa agamanya, tapi kita lihat aktivitas dia itu kontraproduktif dengan demokrasi atau justru memperkuat demokrasi atau tidak,” pungkasnya.
Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo tidak menampik jika dirinya yang diposisikan sebagai orang nomor satu di militer terlibat dalam percaturan politik. Penegasan itu disampaikan Gatot seusai meninjau Gladi Bersih Upacara Parade dan Defile Peringatan HUT Ke-72 TNI Tahun 2017, di Dermaga Indah Kiat, Cilegon, Banten, Selasa 3 Oktober 2017.
“Panglima TNI pasti berpolitik. Politiknya adalah politik negara, bukan politik praktis. Saya tidak berfikir menjadi panglima apapun juga, tetapi yang jelas sebagai Panglima (TNI) saya harus melaksanakan tugas saya sebagai konstitusi. Politik saya politik negara,” ujar Gatot.
MTVN