Restorasidaily.com, Jakarta: Seusai dipaparkan dalam Rapat Badan Anggaran di DPRD DKI Jakarta, Senin, 6 November 2017 kemarin, pembahasan menyoal program kredit rumah dengan uang muka (down payment/DP) Rp0 alias tanpa uang muka diboyong ke rapat di tingkat komisi.
Pihak legislatif mempertanyakan konsep program tersebut, salah satunya mengenai segmentasi warga yang tergolong ke dalam penerima. Anggota Komisi D dari Fraksi NasDem Bestari Barus mempertanyakan program itu diperuntukkan warga yang mana.
Berdasarkan paparan yang disampaikan Dinas Perumahan DKI Jakarta, ujar Bestari, dirinya menangkap segmentasi yang disasar program itu ialah masyarakat berpengasilan rendah, dengan kisaran penghasilan bagi suami-istri sebesar upah minimum provinsi (UMP).
Padahal, menurutnya, jika merujuk pada model rumah susun milik (rusunami) seperti yang telah dibangun di kawasan KS Tubun, Jakarta Pusat, segmentasi tersebut jelaslah tidak sesuai. Satu unit rusunami tipe 36, ujarnya, dibanderol seharga Rp440 juta.
“Kalau cicilan mencapai 25 tahun, jumlah cicilan per bulannya bisa di atas Rp 1,2 juta. Itu belum termasuk biaya air, listrik, serta iuran pengelolaan lingkungan. Lalu biaya hidup mereka darimana? Makanya saya tanyakan tadi, ini sebetulnya segmentasi-nya siapa?” kata Bestari.
Sempat tercetus opsi untuk mencarikan dana lewat corprate social responsibility (CSR) untuk meringankan skema cicilan. Namun, itu dinilainya bukan opsi yang aman, mengingat lama masa cicilan diperkirakan mencapai 25 tahun.
Warga yang bisa melakukan pembelian rumah dengan DP Rp0, kata dia, ialah mereka yang berusia produktif dalam rentang usia 20-30 tahun.
Jika lebih dari dari itu, bisa-bisa malah masa cicilan rumah melampaui masa pensiun mereka. Besatari pun menilai skema pembayaran cicilan rumah DP Rp0 justru lebih memberatkan warga ketimbang sewa pada rumah susun sederhana sewa (rusunawa).
Digodok dewan
Proses pembahasan terkait dengan program rumah DP Rp0 belum tuntas. Komisi D masih akan menggelar rapat pembahasan, Selasa, 7 September 2017.
Hasil pembahasan dari komisi kemudian akan dibawa kembali ke rapat badan anggaran. “Di rapat banggar saya rasa perdebatannya bisa lebih hebat,” tutur Bestari.
Saat ditemui secara terpisah, Wakil Ketua DPRD DKI dari Fraksi Gerindra Muhammad Taufik justru menilai program itu perlu diberi penganggaran lebih tinggi. Ia menyampaikan keinginannya untuk menaikkan anggaran bagi program DP Rp0 hingga sekitar Rp1 triliun-Rp2 triliun.
“Kemarin sudah masuk DP Rp0, cuma menurut saya masih kecil. Kalau Rp800 miliar kan kecil. Itu terlalu kecil, yang dulu aja Rp2,5 triliun untuk rumah susun,” ujar Taufik.
Anggaran Rp800 miliar itu sendiri belum mencakup proses konstruksi, melainkan baru untuk pengadaan tanah. Pemprov DKI juga belum memutuskan skema pembiayaan yang digunakan untuk program tersebut, dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) atau melalui kerja sama dengan badan usaha milik daerah (BUMD).
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Triwisaksana menilai pengerjaannya akan lebih cepat jika melalui BUMD.
“Kalau yang menggunakan BUMD, saya kira bisa langsung dikerjakan. Jadi aset tanah yang mereka miliki kan bisa diba-ngun perumahan dan DP Rp0,” tutur Sani.
Dengan opsi itu pun, ujarnya, tidak perlu ada proses lelang selayaknya jika menggunakan APBD.
Sebelumnya, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno menyebut program yang masih dalam tahap persiapan itu terdiri atas dua fase, yakni fase pemerintah dan fase swasta.
“Yang fase swasta sudah bisa dieksekusi. Jadi itu sekarang sudah berjalan dengan sendirinya, dan mungkin dalam beberapa kesempatan nanti ada swasta yang akan mengajukan pola DP Rp0 ini. Mereka lagi menggodok sekarang dan mereka yakin bisa mengeksekusi. Kita lihat saja programnya,” ujar Sandi.
Tiga BUMD, yakni PT Jakarta Propertindo, PT Sarana Jaya, dan PD Pasar Jaya, telah ditugaskan untuk mengkaji segala kemungkinan dari pelaksanaan program itu.
MTVN