Restorasidaily.com | PEMATANGSIANTAR
Posisi jabatan Walikota Pematangsiantar Hefriansyah SE,MM sepertinya mulai terusik. Komite Nasional Pemuda Simalungun Indonesia ( KNPSI ) melalui suratnya Nomor : DPP-KNPSI/ 097/Sim-Pms/IV/2018 tanggal 7 April 2018 meminta DPRD Kota Pematangsiantar berkenan bersidang untuk memberhentikan Hefriansyah dari jabatan Walikota Pematangsiantar.
Sesuai data yang diterima wartawan Redaksi Restorasidaily.com, Senin (9/4/2018), menurut penilaian KNPSI, Walikota Hefriansyah SE,MM telah menistakan suku Simlaungun, telah melakukan pelanggaran terhadap Undang – Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, melakukan kebijakan yang berpotensi mencipatakan gejolak sosial SARA di Kota Pematangsiantar.
Penilaian KNPSI tersebut juga memiliki dasar pertimbangan dan alasan sebagai berikut :
I. Bahwa kota Pematangsiantar adalah tanah budaya dan leluhur masyarakat suku Simalungun, yang hal ini tidak untuk diperdebatkan lagi dan sampai saat ini masih terbukti seperti :
1. Kota Pematangsiantar sebelumnya adalah kabupaten Simalungun dan merupakan ibu kota Kabupaten Simalungun, sama persis seperti Kota Bandung dengan Kabupaten Bandung, Kota Bogor dengan Kabupaten Bogor dan Kota Cirebon dengan Kabupaten Cirebon.
2. Jika saja sebelumnya nama ibu Kota Simalungun adalah Simalungun maka Pematangsiantar adalah Kotamadya Simalungun.
3. Motto Kota Pematangsiantar “ Sapangambei Manoktok Hitei “ yang berarti bekerja bersama – sama atau gotong royong adalah dari bahasa suku Simalungun.
4. Seluruh kantor pemerintah, swasta, TNI, POLRI,BUMN dan BUMD menggunakan arsitektur dan ornament dari suku Simalungun.
5. Sejarah Raja Siantar, Sangnaualuh Damanik adalah putra Suku Simalungun.
6. Dalam Google Map yang mendunia, yang tertulis adalah Kota Simalungun bukan Kota Pematangsiantar.
7. Dan bukti – bukti lainnya.
II. Bahwa dalam pelaksanaan Hari Ulang Tahun Kota Pematangsiantar, Pemerintah Kota Pematangsiantar membuat spanduk dan poster yang antara lain juga ditampilkan di depan masyarakat umum seperti acara Pekan Raya Sumatera Utara ( PRSU ) yakni
1. Tulisan “ FESTIVAL KOTA PUSAKA SEMARAK BUDAYA SIANTAR “ tanggal 23 – 28 April 2018.
2. Gambar / lukisan yang memperlihatkan ada tujuh adat budaya lain yang bukan Simalungun termasuk barongsai dengan mengelilingi salah satu bentuk rumah adat Simalungun jabu Uttei Jungga yang berada di Purba identik dengan yang telah terbakar pada tangal 5 Juni 2017.
III. Berdasarkan tulisan dan gambar tersebut kami menganggap bahwa Walikota Pematangsiantar telah bersengaja melakukan penistaan, penghinaan dan pelecehan kepada masyarakat suku Simalungun karena :
1. Menjadikan Kota Pematangsiantar sebagai kota Pusaka, maka hal ini dapat mengajak masyarakat untuk meng-interpretasikan atau mangartikan bahwa segala sesuatu yang menyangkut Pematangsiantar tinggal pusaka atau sejarah saja, termasuk didalamnya keberadaan suku Simalungun hanya tinggal pusaka dan tinggal sejarah saja.
2. Menjadikan kota Pematangsiantar sebagai kota pusaka adalah klaim sepihak dari Pemerintah Kota Pematangsiantar adalah bentuk penistaan, penghinaan dan pelecehan kepada masyarakat Suku Simalungun karena selama ini Kota Pematangsiantar dikenal dengan julukan Kota Pelajar dan kota paling toleran.
3. Menjadikan Kota Pematangsiantar sebagai Kota Pusaka dapat mengajak masyarakat untuk menginterpretasikan bahwa suku Simalungun sebagai pemilik tanah budaya dan leluhur kota Pematangsantar sebagai pusaka atau hanya tinggal sejarah saja.
4. Bahwa saat ini keberadaan suku Simalungun masih sangat jelas keberadaannya, pernah jadi Menteri, saat ini ada anggota DPR RI, ada kepala Daerah, ada direksi BUMN, ada Polisi Jendral ada TNI Jendral sehingga tidak benar suku Simalungun itu tinggal pusaka.
IV. Bahwa membuat suku Simalungun di Pematangsiantar tinggal pusaka semakin jelas terlihat dan dibuktikan dengan ditampilkannya melalui gambar atau lukisan yang ada yakni salah satu jenis rumah adat Simlaungun yang ukuran kecil bernama Jabu Uttei Jungga dalam keadaan kosong dikelilingi tujuh pakaian dan peralatan adat budaya suku lain termasuk barongsai dari China, dan dari gambar atau lukisan ini dapat mengajak masyarakat meng-interpretasikan atau mengartikan antara lain :
1. Bahwa Suku Simalungun sudah punah dan tidak ada lagi sehingga dalam gambar tersebut tidak ada ditampilkan pakaian, alat musik dan gotong suku Simalungun yang ada ditampilkan adalah pakaian dan alat musik tujuh budaya lain.
2. Bahwa benar Suku Simalungun tinggal pusaka atau sejarah saja karena rumah adatnya sudah terbakar habis dan pakaian adat dan alat musik tradisional nya sudah tidak ada lagi.
3. Bahwa seolah – olah benar suku Simalungun itu tinggal pusaka atau sejarah saja yang dikelilingi oleh tujuh budaya suku – suku lain yang ada di Pematangsiantar seperti tampak dalam gambar.
4. Bahwa adat dan budaya suku – susku lain telah menggusur adat dan budaya suku Simalungun sehingga tinggal pusaka dan ini ditampilkan ketujuh adat suku lain tersebut mengelilingi rumah adat suku Simalungun yang faktanya rumah adat Simalungun tersebut sudah punah karena terbakar.
5. Bahwa jika tidak ada niat menjadikan Suku Simalungun menjadi pusaka idealnya Pemerintah Kota Pematangsiantar dapat menampilkan rumah adat Simalungun yang berdiri di Kota Pematangsiantar yang lebih besar yakni bangunan museum Simalungun.
V. Bahwa niat Walikota Pematangsiantar untuk melakukan penisataan dan pendiskriminasian serta upaya penghapusan budaya Suku Simalungun dari Kota Pematangsiantar didukung dari beberpa kebijakan yang diambil antara lain :
1. Dari Komposisi pengisian atau pemberiankesempatan jabatan kepada putra suku Simalungun yang sangat minimal sekali , mulai dari Sekda, Kepala Dinas, Kepala Bagian, Kepala Badan, Kepala bidang, camat, Lurah dan sampai kepada kepala – kepala sekolah.
2. Bahwa pada saat acara Oikumene Kota Pematangsiantar yang dilakasanakan oleh Pemerintah Kota Pematangsiantar, idealnya sebagai penyelenggara atau ketua Panitia penyelenggara ada lah dari sinodestan GKPS sebagai tuan rumah di Pematangsiantar, namun faktanya GKPS yang atas nama Simalungun hanya dijadikan sebagai peserta biasa saja.
3. Pada saat acara oikumene tersebut tidak ada menampilkan adat budaya Simalungun yang ditampilkan justru budaya dan adat yang bukan Simalungun.
4. Pada saat acara- acara MTQ di Mesjid Al Hilal, pada saat Walikota Pematangsiantar turun dari kendaraan langsung disambut tari – tarian budaya melayu sesuai dengan suku Walikota Pematangsiantar, berbeda dengan sebelum – sebelumnya setiap ada acara oleh Walikota Pematangsiantar selalu disambut dengan adat suku Simalungun dengan tor-tor sombah.
5. Bahwa pada saat mengisi acara Pekan Raya Sumatera utara (PRSU) di Medan, adat dan budaya Simalungun ditampilkan hanya sebagai pelengkap saja baik dari jumlah yang ditampilkan maupun dari jumlah waktu durasi penampilan.
6. Bahwa Walikota Pematangsiantar telah mengabaikan azas kepatutan kepada suku Simalungun, sebab Walikota, Wakil Walikota, Sekda, Ketua KPU sudah bukan suku Simalungun, sepatutnya lah Sekda dari putra suku Simalungun, namun yang dilakukan oleh Walikota Pematangsiantar justru mendatangkan sekda dari luar kota Pematangsiantar.
VI. Bahwa mencermati poin – poin diatas, menurut kami Walikota Pematangsiantar telah memicu pertikaian sara di kota Pematangsiantar.
Berdasarkan fakta dan penjelasan kami tersebut diatas dengan ini kami meminta kepada DPRD Kota Pematangsiantar untuk :
1. Kiranya berkenan mempelajari kebenaran dari enam poin yang telah kami sampaikan diatas.
2. Kiranya DPRD Kota Pematangsiantar berkenan menindaklanjutinya dengan melakukan sidang Paripurna untuk memberhentikan Walikota Pematangsiantar karena telah melanggar Undang – Undang, sumpah jabatan dan etika.
3. Kiranya DPRD Kota Pematangsiantar berkenan dapat dengan segera memenuhi permintaan yang kami sampaikan ini.
Surat KNPSI itu ditujukan kepada Ketua dan Wakil Ketua DPRD, Ketua dan Wakil Ketua Fraksi, serta Ketua dan Wakil Ketua Komisi, yang ditembuskan kepada Bapak Joko Widodo Presiden RI di Jakarta, Bapak Ketua Komnas Ham RI di Jakarta, Bapak Kapolri di Jakarta, Bapak Cahyo Kumolo , Mendagri di Jakarta, dan Bapak T.Erry Nuradi , Gubernur Sumatera Utara di Medan.
Penulis : Hendro Susilo