Restorasidaily.com -Jakarta: Wakil Rektor III Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Waryono Abdul Ghafur mengimbau agar tidak ada pihak yang menggunakan bahasa agama pada Pilkada Serentak 2018 nanti. Ini perlu diperhatikan untuk menjaga kondisi sosial.
“Kita tidak perlu menggunakan bahasa agama dalam pilkada nanti karena sangat sensitif dan takutnya bisa disalahgunakan oleh kelompok tertentu atau kelompok radikal untuk memecah belah masyarakat,” kata Waryono dilansir dari Antara, Rabu, 31 Januari 2018.
a menuturkan, masyarakat akan mudah tersentuh, bahkan juga akan sangat emosional ketika merasa agamanya dihina, dicaci maki, dan sebagainya. Pengurangan penggunaan bahasa agama juga bagian dari cara untuk memelihara kondisi sosial.
“Jadi, hindarilah menggunakan bahasa agama, tidak usah memakai dalil macam-macam, misalnya mengatakan tidak usah memilih orang yang beda agama dari dalil ini, atau menyebut bahasa agama untuk dialamatkan kepada orang lain yang beda agama, tentunya itu tidak pas,” tutur dia.
Waryono mengatakan bahwa isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) adalah isu paling mudah digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu. Pasalnya, isu tersebut paling laku digunakan untuk memecah belah bangsa.
“Kalangan elite pun sebenarnya juga paham bahwa kalau sudah pakai isu SARA itu ‘sumbu pendeknya’ itu sangat mudah dan enak. Itu sebenarnya yang harus dihindari kalangan elite ini,” tandas dia.
Agama pun, lanjut dia, melarang penggunaan isu SARA untuk memecah belah. Namun, karena kepentingan pragmatis, masyarakat sering lupa dengan hal seperti itu.
“Jadi, bagi saya baik kalangan elite maupun masyarakat harus sama-sama bisa menahan diri. Yang elite jangan memanfaatkan atas nama masyarakat dan yang masyarakat pun juga jangan ikut-ikutan serta merta dengan kalangan elit ini,” ucapnya.
Ia menilai pergantian pemimpin merupakan hal yang lumrah. Oleh karena itu, masyarakat tidak perlu menganggapnya sebagai sesuatu yang terlalu serius, apalagi jika membuat kondisi antar masyarakat menjadi tidak kondusif.
“Karena ini kegiatan politik yang rutin maka kita tidak boleh memperpanjang persoalan terutama yang terkait dengan hal-hal yang membuat masyarakat terpecah. Perbedaan pilihan itu karena kita punya alasan tersendiri dan punya rasionalisasinya,” tandas dia.
Ia juga mengimbau masyarakat kritis terhadap tokoh-tokoh yang dianggap sebagai panutan karena bisa jadi mereka sebenarnya juga punya kepentingan. Begitupula ketika menerima informasi dari media sosial dan dunia maya. (Team/MTVN)